Rabu, 07 Oktober 2020

Manusia Sunyi

 


 Manusia Sunyi

 pagi ini aku kurang rapi,

matakupun ingin masuk ke dunia mimpi,

hujan semakin lebat dan sepi

sama halnya dengan hidupku yang semakin suram dan sunyi

 

aku menyukai semut yang bergerombolan di tanah yang basah,

mereka kedinginan dan mungkin juga kelaparan, 

sebab belum sempat sarapan karena hujan yang deras menyapa,

meskipun begitu aku tetap iri pada mereka,

dengan keadaan yang menyedihkan mereka terlihat sorak bahagia,

aku memang tak mendengar gelak tawa mereka,

namun jiwaku merasa mereka terlihat bahagia, 

bukan kah nenek moyang mereka pernah membuat nabi sulaiman dan pasukannya berhenti sejenak,

itu kisah yang di ceritakan ibu bapak sejak aku balita, mungkin juga di sekolah oleh guru agama,


sedangkan aku manusia yang beribu kali lipat lebih besar dari semut,

lebih kuat dan istimewa dari mahluk yang terlihat sangat halus,

berada di bawah atap yang kokoh, hangat, tak kelaparan dan haus,

memiliki  segala hal yang aku perlu,

dengan begitu seharusnya aku menjadi manusia yang selalu tersenyum, 


namun pada kenyataannya jiwaku sangat melarat,

pikiran ku buntu dan tak bernyawa,

aku bagai manusia yang bersembunyi pada fisik yang kuat,

seogok rasa mampu membuat jiwaku mati dan tak bersayap,

kemana segala gelak tawa itu menghilang,

apa mereka bosan menemani hidupku yang penuh kebohongan, 

atau mereka juga kesepian hingga mencari tempat yang lebih nyaman,

atau karena aku menelantarkan mereka hingga mereka pergi ke pengungsian,


aku rindu mereka sekaligus benci,

karena seenaknya mereka pergi tanpa permisi,

 meninggalkan fisik ku yang kuat dengan jiwa yang sakit,

memandang semut dibawah hujan dengan pikiran yang sepi,

sebab segala hal indah yang ku ingin telah pergi dan aku mati.


@Kamia_Poni



Manusia Sunyi Karya Fina Sula (Kamia Poni)


 Manusia Sunyi

 pagi ini aku kurang rapi,

matakupun ingin masuk ke dunia mimpi,

hujan semakin lebat dan sepi

sama halnya dengan hidupku yang semakin suram dan sunyi

 

aku menyukai semut yang bergerombolan di tanah yang basah,

mereka kedinginan dan mungkin juga kelaparan, 

sebab belum sempat sarapan karena hujan yang deras menyapa,

meskipun begitu aku tetap iri pada mereka,

dengan keadaan yang menyedihkan mereka terlihat sorak bahagia,

aku memang tak mendengar gelak tawa mereka,

namun jiwaku merasa mereka terlihat bahagia, 

bukan kah nenek moyang mereka pernah membuat nabi sulaiman dan pasukannya berhenti sejenak,

itu kisah yang di ceritakan ibu bapak sejak aku balita, mungkin juga di sekolah oleh guru agama,


sedangkan aku manusia yang beribu kali lipat lebih besar dari semut,

lebih kuat dan istimewa dari mahluk yang terlihat sangat halus,

berada di bawah atap yang kokoh, hangat, tak kelaparan dan haus,

memiliki  segala hal yang aku perlu,

dengan begitu seharusnya aku menjadi manusia yang selalu tersenyum, 


namun pada kenyataannya jiwaku sangat melarat,

pikiran ku buntu dan tak bernyawa,

aku bagai manusia yang bersembunyi pada fisik yang kuat,

seogok rasa mampu membuat jiwaku mati dan tak bersayap,

kemana segala gelak tawa itu menghilang,

apa mereka bosan menemani hidupku yang penuh kebohongan, 

atau mereka juga kesepian hingga mencari tempat yang lebih nyaman,

atau karena aku menelantarkan mereka hingga mereka pergi ke pengungsian,


aku rindu mereka sekaligus benci,

karena seenaknya mereka pergi tanpa permisi,

 meninggalkan fisik ku yang kuat dengan jiwa yang sakit,

memandang semut dibawah hujan dengan pikiran yang sepi,

sebab segala hal indah yang ku ingin telah pergi dan aku mati.


@Kamia_Poni


Kamis, 25 April 2019

DEAR PEREMPUAN "Sajak Sejak Enambelas Sebelas Delapanbelas"


"DEAR PEREMPUAN"
Sajak Sejak
Enambelas Sebelas Delapanbelas


Hei puan, mungkin bagimu aku kuat.
Mungkin juga bagimu aku ini hebat.
Padahal kau tau, aku sekarang sekarat.
Pun begitu, kau tetap pergi di saat tak  tepat.


Puan,,, Aku seperti sedang terpaku.
Meratapi masa lalu yg setiap harinya ada kau.
Ikhlas dan rindu seakan beradu di hatiku.
Entahlah, kini aku bertaruh bahagia melawan sang waktu.


kadang keraguan tentangmu meracuni isi kepalaku.
Qorin dalam nuraniku menerka komitmu.
Tapi aku tetap percaya, kau masih milikku  yang dulu.
Yang setiap detikmu ada aku dalam qalbumu.


Terlalu banyak canda tawa yang menghuni memori.
Kini hadir di 1/3 malamku seraya menghantui.
Suka duka yg dulu pernah kita lewati.
Seakan mampir, menusukku dengan belati, lalu pergi lagi.


Kau beranjak dengan jaminan sebuah ikrar.
Sesaat setelahnya, aku pun bagai terbakar dalam api yg berkobar.
Media sosial jadi tempat kita menunggu kabar.
Melawan sekat yg kini sedang memagar.


Puan,,, ini bukan tentang perintah Tuhan.
ini pula bukan soal ta'aruf atau pacaran.
Masalah kita hanya satu, intervensi setan.
Yang mengandalkan kesempatan dalam setiap hubungan.


Puan,,, izinkan aku sedikit bangga.
Bangga karena aku bisa jadi alasan kau berubah.
Bangga pernah memanusiakan manusia.
Juga karena pernah punya kau yg seindah mahkota.


Fadjrin Saputra kaliky

Rabu, 08 Juni 2016

Beradu dalam Satu by Novitasari Fatgehipon

Beradu dalam Satu

Ini lah aku, aku yang berada dalam
lingkaran ribuan penghuni lainnya.
Itula kamu, kamu yang beradu-padu dengan
ribuan manusia lainnya juga.
Namun tak pernah terbesit rasa
takut dalam jiwa,
kalau kita akan jauh dari kata bersama.
Karena siapapun kamu, aku percaya
bahwa-DIA punya seribu jalan
untuk membuat kita berjalan searah.

By: Vitha_

Kelam Memori by Novitasari Fatgehipon

"Kelam Memori"

Bahagia. Kadang aku benci  bahagia.
Senyum hitam saat tiba ditepian.
Hujan batu melalui sela-sela awan pekat.
Deru nafas membela rongga keheningan.
kenapa hati begitu berdusta?
kenapa juga logika ikut terbawa?
bagaimana bisa raga begitu bahagia
diantara hitam pekat tanpa cahaya.
Aku tahu jiwa sedang merana
Merana memikirkan hari dunia abadi akan tiba.
merontak berulang kali diatas hamparan kain cahaya.
namun berulang kali juga raga melakukan sebaliknya.
berhentilah, berhentilah berjalan tanpa arah.
lalu mulailah, mulailah berbicara, 
akhiri dengan dua buku yang bermakna. 
dan berjalan dalam kisah karena-DIA.

By: Vitha